Jakarta adalah miniatur Indonesia karena hampir semua suku bangsa ada di sini. Semua berbondong-bondong ke Jakarta untuk mencoba peruntungan atau malah dapat kebuntungan. Karena tidak sedikit juga yang gagal, tapi banyak juga yang sukses untuk kemudian pas mudik bawa mobil ke kampung sambil lirak-lirik tetangga yang sedang terkesima. Untuk menuju ke posisi bisa pamer itu, butuh perjuangan dan doa. Perjuangan tanpa ridho Allah juga akan jadi sia-sia. Sedang doa aja tanpa perjuangan, sama aja atuh, hehehehe...
Kalau ingin melihat para pejuang duit, naiklah angkutan umum. Mulai dari pegawai kantoran sampai penyanyi profesional (pengamen) ada di situ. Semuanya (mungkin) berdoa, tapi level berjuangnya beda-beda yang berimbas pada apa yang dia dapat. Contoh sederhana para penampil yang sering kita temui di angkutan umum misalkan... Metro Mini 75 yang sering aku naiki pergi-pulang kantor. Bila masuk Tendean, suka ada bapak-bapak sekitar 30an tahun naik ke MM 75 buat tampil. Bukan baca puisi, bukan orasi sambil sulap make silet, dan bahkan bukan menyanyi... lha terus ngapain??? Wowkwkwk... aku sendiri nggak tahu, pokoknya dia naik lalu berdiri di lipatan pintu lalu ngedumel gak jelas apa yang diomongin. Alhasil satu pun penumpang gak ada yang ngasih sampai si kernet aja neriakin,"makanya, kerja!". Pengamen aja belum tentu semua ngasih, ini gak jelas ngapain minta dikasih, wekekeke...
Suatu malam aku naik Metro Mini 69 ke Blok M. Naik pengamen yang beranggotakan pemain "mobile" drum dan pemain biola. Mereka lalu membawakan karya instumental yang pertama Storm-nya Vanessa Mae dan satu lagi aku lupa judulnya tapi familiar dengan lagunya. Si drummer menggila seakan yang dia pukul drum di grup-grup band di Inbox dan pemain biola gak ada nada yang slip bahkan nyaris sama ama aslinya. Wow...